top of page

Peran.

Namanya Emma. Usianya nyaris memasuki angka 70. Tiga tahun lalu merupakan tahun yang dinamis untuknya. Bagaimana tidak, di awal tahun ia senang saat menghadiri perayaan kelulusan anak pertamanya -- Bagas -- sebagai seorang Doktor di bidang Kajian Budaya, yang setelahnya memutuskan untuk membuat Lembaga independen pengkaji kondisi sosial-politik di Indonesia. Beberapa bulan setelahnya, giliran Anda, anak keduanya, berhasil meraih gelar sarjana di bidang Kedokteran Gigi, dan langsung ditawari praktek di salah satu klinik di bilangan Tebet.

Sebulan setelah kelulusan Anda, ia mengalami apa yang orang sebut depresi berat -- saat suaminya meninggal karena kecelakaan di Jalan Tol Cipali ketika hendak menuju Cirebon untuk melayat teman kuliahnya dulu. Berbulan-bulan ia tidak keluar kamar, kecuali untuk makan dan urusan kakus. Tapi hal tersebut berubah di akhir bulan tiga tahun yang lalu, karena anak ketiganya -- Amy -- mendapat beasiswa ke Jepang untuk menempuh pendidikan Ilmu Kelautan. Emma, bersama Bagas dan Anda, ikut mengantar Amy ke Jepang dan berpelesiran selama beberapa minggu.

Emma pulang, Sesaat setelah pergantian tahun di Jepang. Ia, bersama Anda harus mengikuti jadwal Bagas. Ketika itu, Bagas harus mengurus masalah internal lembaga yang dibuatnya. Mereka lepas landas tepat pada pukul 5 pagi tanggal 1 Januari menuju Hongkong, untuk selanjutnya terbang menuju Jakarta.

Sesampai di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Emma berdiri menatap taksi yang menghampirinya. Bagas berkata, "Ma, aku harus langsung berpisah di sini. Mereka (teman-temannya) sudah menunggu sedari malam sebelum tahun baru"."Pergilah, Gas! Lakukan apa yang baik menurutmu". Jawab Emma.

Ia sadar, kini disampingnya tinggal ada Anda. Anda, selalu Emma anggap sebagai seorang yang tak berprinsip. Karena selama hidupnya, Anda selalu menuruti perkataan ayahnya, meski bertentangan dengan keinginan pribadi dan anjuran Emma -- selaku ibunya. Anda masih mengambil cuti dari klinik, sehingga ia dapat menemani Emma di rumahnya, sebelum ia kembali bertugas dan tinggal di kost-nya. Anda memecah kesunyian, "Ayo Ma, kita pulang! Atau mau cari makan dulu?" Emma membalas, "Anda, ajak mama sesuai yang kau kehendaki." Sempat terdiam beberapa saat, Anda akhirnya memutuskan dengan ragu. "Baiklah, bagaimana kalau cari tempat makan sambil jalan ke arah rumah."

Emma sadar, lagi-lagi Anda bersikap seperti apa yang ia prediksi. Emma coba menghentak kesadaran Anda dengan berkata, "Tidak usah. Tetiba Mama rindu dengan kasur. Kita langsung pulang saja." Emma berkata demikian bukan dalam rangka berbicara jujur, tapi hanya coba menyadarkan Anda. Emma tahu betul bahwa mereka berdua kelaparan, karena terakhir mereka makan adalah di Jepang sebelum malam tahun baru. Dan mereka bertiga melewatkan sesi makan di pesawat, karena lebih memilih memuaskan mata yang mengantuk ketimbang perut yang keroncongan.

Tetapi Anda hanya mengangguk dan kemudian menunduk. Bahkan Emma beri ancaman terakhir dengan memberhentikan taksi dan memberi panduan jalan kepada si Supir. Anda hanya berdiam dan berpikir untuk memasak telur dadar sesampainya mereka di rumah. Anda berkata dalam hati, "Aku harus ikuti apa yang Mama bilang. Dalam dua hari ke depan aku tidak akan bertemu lagi dengannya karena akan fokus di klinik."

Betul saja, selang beberapa hari, Emma ditinggal sendiri di dalam rumahnya. Ia lakukan aktivitas apapun yang ia bisa. Beginilah kurang lebih aktivitas Emma dalam sehari; bangun pukul 5 pagi untuk beribadah, kemudian menyeduh kopi dan mempersiapkan sarapan untuk dirinya sendiri. Pukul 8 ia mulai mengurus taman kecilnya. Pukul 9 ia sudah harus mulai membersihkan bagian dalam rumahnya. Berikutnya ia mulai memasak (juga untuk dirinya sendiri). Yang terpenting adalah Emma harus bersiap tidur siang pukul 1, setelah mandi dan ibadah siang. Kemudian ia bangun pada saat ibadah sore, untuk kemudian menonton televisi hingga menjelang magrib. Setelah ibadah magrib, Emma makan dan selanjutnya berdiam diri di kamar dengan membaca kitab, hingga kantuk datang.

Ia lakukan aktivitas yang sama sampai saat ini (3 tahun kemudian), dimana di antara waktu-waktu selama tahun yang berlalu, anaknya berkunjung ke rumah selama sekitar tiga jam. Atau kadang ia diundang anak tertuanya – Bagas – untuk bermalam di rumah barunya yang Bagas beli sekitar setahun lalu. Sedangkan Amy, masih melanjutkan studi di Jepang, dan belum sempat balik ke Jakarta. “Untuk meringankan biaya.” Demikian jawab Amy saat ditawari pulang ke Jakarta oleh Anda.

Dari beberapa pertemuan itu, tidak satupun terjadi saat Emma ulang tahun. Emma bukan tipikal orang yang suka merayakan ulang tahun, tetapi di suatu pagi ia melihat akta kelahirannya yang sudah lusuh, dan tetiba membayangkan apa saja yang sudah terjadi selama hidupnya. Saat itulah Emma sadar, betapa angka yang menghantui dirinya ini sudah tergolong banyak. Ia menginginkan satu situasi dimana ketiga anaknya kumpul bersama untuk terakhir kalinya, dan Emma kembali merasai dirinya sebagai seorang ibu. Emma berbicara ke foto almarhum suaminya,”ya, setelah itu aku siap untuk pergi menemuimu di alam sana, suamiku!”

Namun, ia harus realistis, karena sepertinya tidak ada di antara ketiga anaknya yang memikirkan hal tersebut. Ia mempersiapkan skenario terburuk. Meninggalkan dunia ini tanpa sekali lagi merasakan peran sebagai ibu. Peran yang ia jalani dengan sangat baik selama puluhan tahun. Peran yang membuat hidupnya bermakna. Peran yang sebetulnya tak ingin ia akhiri.

Bulan demi bulan berlalu, mendekatkan waktu pada hari ulang tahun Emma, dan aktivitas ia masih belum berubah. Begitupun ketiga anaknya.

Hingga suatu malam seusai praktek, Anda memikirkan kejadian di Bandara setelah ia dan Emma ditinggal pergi begitu saja oleh Bagas. Anda mengerti betul rasanya ditinggal – ditinggal figur ayah yang membesarkannya dengan rasa hormat dan kasih sayang.

Anda memaksa Amy untuk pulang. Karena memang Amy sebenarnya punya waktu untuk pulang, tetapi ia sudah terlena dengan kehidupannya di Jepang, apalagi ia sudah menjalin hubungan dengan pria kelahiran Kyoto. Lagipula, Amy kini sudah libur setelah menyelesaikan masa magangnya.

“Pulanglah Amy, meski hanya untuk beberapa hari. Kakak tau bagaimana rasanya menjadi kamu, tapi tidak dengan ibu.” Anda membujuk Amy, karena ingin mengadakan syukuran ulang tahun kecil-kecilan di rumah ibunya, bersama dua saudaranya dan turut mengundang dua adik Emma serta anak-anaknya. “Kak, aku ingin sekali pulang. Tapi bukankah uangnya lebih baik ditabung untuk kesejahteraan ibu?” Amy menyangkal dengan baik, “Tidak Amy! Uang bisa dicari, tapi momentum tidak!” Anda mulai menaikkan nada suaranya. Percakapan mereka berjalan alot sampai dengan Anda menceritakan kisah-kisah dulu saat Amy masih bayi hingga beranjak dewasa. Kisah-kisah yang selalu melibatkan peran heroik Emma sebagai ibu.

Amy setuju untuk pulang, dengan suara isak tangis lewat telepon. Ia langsung minta dipesankan tiket pesawat untuk esok hari secepatnya. Anda mengeluarkan hampir seluruh tabungannya untuk mewujudkan impiannya, yang sebenarnya juga impian ibunya yang tidak Anda ketahui.

Pada saat itu, Emma masih terus menerawang ke belakang mengenai hidupnya, sambil berharap anaknya berkumpul bersama. Anda diam-diam sudah melakukannya, dan maju selangkah, dengan mendatangkan Amy pulang ke rumah. Tanpa kabar apapun, pada pukul 2 pagi, saat Emma sedang tidur, Amy mengetuk pintu dan langsung memeluk ibunya. “Amyyyyy!” teriak Emma panjang “Anakku! Anak bungsukuuu! Akhirnya kamu pulang! Jangan lepaskan pelukan ibu dulu!” lanjut Emma. “Aku tidak mau, Bu! Jawab Amy isak. Mereka berdua tenggelam dalam suka cita berbalut air mata.

Mereka tidak tidur hingga matahari menyapa. Saling bercerita, saling tertawa, dan saling mengenang. Di sela-sela waktu itu Emma kembali merasakan perannya di Dunia. Ia lakukan apa yang harusnya seorang ibu lakukan kepada anaknya, meski Amy beberapa kali melarang dan menginginkan ibunya untuk duduk. Sekitar pukul 8, mereka berdua mengantuk. Amy mengajak ibunya tidur bersama – berpelukan.

Anda kini harus meyakinkan Bagas supaya datang pada hari ulang tahun ibunya, tiga hari lagi. “Abang usahakan, Nda! Sepertinya selama tiga hari ke depan Abang masih harus mendatangi seminar di Manado.” Jawab Bagas melalui sambungan telepon. “Aku tidak bisa diberikan jawaban “sepertinya”. Aku butuh jawaban tegas, dan aku butuh Abang Bagas hadir di rumah ibu tiga hari lagi,” bentak Anda cukup hebat karena merasa Bagas meremehkan ibunya dan lebih mementingkan seminar tidak jelas. “Baik, Nda. Abang usahakan.” Tutup Bagas.

Dua hari setelahnya, Anda mendapat surat elektronik dari Bagas. Isinya adalah tiket pesawat Manado-Jakarta dengan estimasi waktu kedatangan pada pukul 4 sore, dengan kalimat “Nda, Abang hanya bisa mendapat tiket pulang sore hari.” Dengan semangat, Anda langsung menelepon Bagas, namun tak kunjung diangkat.

Hari itu tiba. Anda bersiap menjemput abangnya di Bandara. Sejak pukul 1 dia sudah standby di Bandara, meski pesannya belum dibalas Bagas. Rupanya, telepon genggam Bagas rusak saat terbanting cukup kencang di parkiran hotel tempatny menginap, oleh karena itu, ia menghubungi Anda lewat surat elektronik. Anda yang tidak punya pikiran apapun, tetap menunggu abangnya hingga jam 6 sore, meski pengumuman kedatangan nomor penerbangan pesawat Bagas sudah berkumandang beberapa kali.

Dengan rasa kecewa ia tinggalkan Bandara dan langsung menuju rumah Ibunya. Yang sebenarnya terjadi adalah, Bagas yang kehilangan telepon genggam, mendatangi Bandara di Manado untuk meminta diberangkatkan lebih awal. Bagas mengiyakan meski harus menghabiskan uang cukup banyak, karena yang tersisa untuk penerbangan tercepat hanyalah kelas bisnis. Pukul 9 pagi Bagas sudah sampai Jakarta dan langsung menuju rumah ibunya. Lagipula, semalam Bagas mimpi cukup buruk tentang Ibunya. Ia berniat harus segera bertemu Emma.

Yang terjadi kemudian adalah mereka larut dalam suka cita, apalagi setelah kedatangan adik-adik ibunya yang membawa anak mereka. Di antara mereka berkali-kali mempertanyakan kehadiran Anda, dan beberapa kali juga mereka menghubungi Anda lewat pesan singkat, karena mereka sama-sama mengetahui hari itu merupakan hari tersibuk Anda selama seminggu, karena harus praktek di tiga klinik berbeda. Dan yang sebenarnya dialami Anda adalah ia mengambil cuti panjang dan menonaktifkan telepon genggamnya agar bisa fokus merayakan hari ulang tahun ibunya.

Anda akhirnya tiba di rumah ibunya pukul 8 malam setelah mengambil kue pesanannya. Betapa kagetnya ia melihat keramaian suara dan gerak di dalam rumah ibunya. Canda tawa yang meledak, serta kisah-kisah yang membangkitkan memori Anda. Anda berdiri di luar pintu menangis. Ia tak peduli berapa banyak waktu dan uang yang ia habiskan, serta miskomunikasi yang terjadi di antara mereka. Ia langsung melihat Emma dan langsung memberikan hadiah yang ia bawa. Emma, tanpa Anda ketahui, telah siap untuk mennggalkan dunia ini. Sekali lagi, dan untuk terakhir kalinya, Ia bisa merasai makna peran hidupnya – sebagai Ibu.

Mereka tenggelam dalam kebersamaan. Mereka untuk sementara tidak mengenal konsep waktu. Mereka untuk sementara kembali bersama.

(Damn!)

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Archive
Search By Tags
No tags yet.
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page